5 Hari

/
4 Comments
Dimulai dari hari Senin, minggu ini, dengan dalih aku ingin menemanimu untuk mengotak-atik video yang telah kita (dan teman-teman satu grup lain tentunya) ambil seminggu sebelumnya.

Dimulai dari hari Senin, minggu ini, aku menghampirimu di ruangan yang sangat-tidak-terkenal-sama sekali dikalangan mahasiswa di kampus kita. Kamu sendiri, kala itu, dan kamu berkata, “tunggu sampai petugas lab audio-visual membalas sms-ku, ya.” Aku mengiyakan sambil bermain-main dengan wacom bamboo-mu—menggambar-gambar tidak jelas yang tervisualisasikan di layar komputer-lipatmu.

Dimulai dari hari Senin, minggu ini, dan balasan pesan singkat dari petugas lab tidak kunjung sampai. Hingga akhirnya kamu menyeletuk, “Ah, nggak dibalas-balas... jadi pengen deh nonton Slam Dunk lagi, copy sama siapa ya..” yang membuatku langsung tersentak dan nekat mengajakmu untuk ke salah satu warnet yang sedang gencar-gencarnya dibicarakan halayak mahasiswa penggemar animasi, film, lagu, dan sebagainya.

“Kapan?” tanyamu. Dan aku langsung menyeretmu ke parkiran untuk langsung meluncur kesana, kamu pun berubah jadi orang “lah loh” hingga akhirnya kita tetap berangkat ke tempat yang akhirnya kau sebut sebagai War-Dat, warung data.

--
Hari Selasa, minggu ini, kita bertemu lagi. Waktu itu sudah menunjukkan tengah hari. Sehabis berkumpul dengan teman-teman drama, aku langsung mengirim pesan singkat untukmu, menanyakan posisi, karena dari semalam hari Senin itu, terbesit ingin memberimu satu ‘hadiah kecil’.
“Nih, gratifikasi.” Kataku. Ekspresi darimu menunjukkan kebingungan dengan kotak kecil yang aku berikan padamu.

“Gratifikasi, aku mau disuruh ngapain?” tanyamu. Aku menimbang-nimbang apa yang bisa aku dapatkan darimu hari ini. Dan teringatlah aku dengan tugas membeli beberapa lembar kain untuk pentas dramaku.

“Ya, okelah, makasih ya.” Senyummu mengembang. Senyum ala anak kecil yang membuatku lupa kalau kamu itu lebih tua dariku. Saat kau menikmati gratifikasi tersebut, hujan mulai turun, dan disitulah, di ruangan yang sangat-tidak-terkenal-sama sekali dikalangan mahasiswa di kampus kita, aku menikmati sosokmu yang sedang makan sekaligus sedang menghadap ke layar komputer-lipatmu, menonton Slam Dunk yang ter-copy kemarin.

Pukul 16.00 WIB, sekitar waktu itulah, kita menyeruak keluar dari ruangan itu, langsung menuju parkiran yang masih penuh sesak dengan motor-motor aneka jenis itu. Sempat berdebatlah kita siapa yang akan membawa motorku, dan kamu berkata “ya janganlah, aku aja yang bawa, masak aku bonceng kamu, kamu jadi navigator saja sudah cukup”, aku hanya angkat bahu, sambil berbicara dalam hati tentang kamu yang terlihat berbeda di waktu-waktu sebelumnya. Dan tiba-tiba, muncul seorang wanita berbadan kecil yang menyapa kita berdua, lebih tepatnya seperti memergoki. Wanita itu langsung mencibir halus kalau kita sedang berdekatan, aku dan kamu hanya bisa terkekeh bodoh, bingung mau membalas apa ke wanita itu. Dan kita pun langsung berpamitan dengan wanita kecil yang lebih dewasa dan matang dari kita itu.

Dan malamnya, kamu mengirim pesan singkat yang tidak pernah aku bayangkan, kata terimakasih dan pujian singkat untuk gratifikasi hari ini, kata-kata sederhana sebenarnya, namun efek yang ditimbulkan hingga keesokannya.

--
Hari Rabu, hari selanjutnya, minggu ini. Tak banyak yang kita lakukan hari ini, hanya bertegur sapa via pesan singkat dan bertemu cukup beberapa menit saja di ruangan yang sama.
“Mau kemana?” tanyamu. Aku bicara sebelumnya bahwa aku akan pergi bersama ‘teman’ku makan siang bersama dan ingin rasanya mengajakmu, tapi sayang ‘teman’ku satu ini ingin ditemani ke beberapa tempat dan cukup menguras waktu, dan disela-sela saat bersama ‘teman’ku itu, terlintas kegiatan tak sengaja kita akhir-akhir ini.

--
Hari Kamis, minggu ini. Mata kuliah pukul 09.00 WIB lebih sedikit membuat teman-teman sekelasku malas, kebanyakan memang mengambil jatah ‘bolos’ yang belum banyak terpakai, termasuk aku. Setelah makan siang bersama kedua teman yang menjadi ‘setan’ dalam hal bolos ini, aku sempat mengirim beberapa pesan singkat untukmu seperti biasa menanyakan keberadaanmu dan ingin meminjam kamera. 

Adanya tugas foto membuat rasa malas menjalar untuk mengerjakannya, dan karena keteledoranku pula, kamera pun lupa dibawa. Ingin meminjam kamera di ruangan tempat biasa kita bertemu, tapi ternyata, karena bukan punya sendiri dan sudah terlanjur bolos, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah saja, niatnya untuk mengambil kamera saja, tapi kenyataannya aku berleha-leha di kamar sambil tetap ber-pesan singkat ria denganmu, dan aku tersenyum-senyum saat aku bilang padamu bahwa aku bolos dan kamu balas dengan kata “bandel”, mirip bapak-bapak yang memarahi anaknya. Dan sekali lagi, aku mengajakmu untuk ke War-Dat yang kamu bilang itu, dalih kali ini karena beberapa film dan animasi yang kamu inginkan belum ter-copy, dan titipan lagu-lagu yang diinginkan oleh ibuku (aku sedang malas mendownload sendiri di rumah) sekaligus bisa duduk bersebelahan denganmu di War-Dat itu.

Aku menjemputmu di depan gang yang aku ketahui karena aku mengantarmu pulang di minggu ini (aku lupa itu hari apa, maaf). Sambil menunggu, kamu sedang khusyuk dengan komputer-lipatmu hingga menyadari aku sudah di depanmu. Karena tidak ada helm dua, dan helm-ku aku serahkan padamu, kamu menawari topi coklat muda yang biasa kamu gunakan. Aku menolak, karena waktu itu aku menggunakan jaket ber-kupluk.

Dan inilah kita, menunggu giliran karena sedang penuhnya si War-Dat. Kita berbincang-bincang kecil sambil membunuh menit-menit akibat menunggu salah satu box War-Dat kosong. Dan namaku dipanggil oleh mas-mas penjaga War-Dat, dan kita siap menyedot data-data yang ada.

U2, Oasis, beberapa lagu indie baik barat maupun di Indonesia, hingga instrumental dari beberapa film dan animasi kita babat dan jejalkan ke dalam hardisk-ku yang mulai menipis kapasitasnya. Tentunya tak ketinggalan animasi dan film yang kamu inginkan juga ikut terangkut ke dalam kotak data yg kini hanya tersisa beberapa puluh Giga Byte itu.

Di sela-sela menunggu perpindahan data, kamu bilang kamu mengantuk, dan posisi kepalamu tegak dan tak terlihat nyaman itu membuatku gemas untuk menarik rambutmu dan menyandarkan kepalamu ke pundakku, dan tertidurlah kamu, beberapa menit hingga tanganku tak sengaja bergoyang membuatmu terbangun, namun kembali aku tarik rambutmu—mengisyaratkan untuk tetap bersandar, dan kamu menurutinya.

Sekitar pukul 13.00 WIB, aku mengajakmu untuk ke gedung besar sebelah kampus kita, latihan drama. Jujur, saat itu, ingin rasanya aku beralasan untuk tidak ikut latihan, namun kamu tetap mengantarkanku dan kamu bilang kamu ingin mengerjakan video di perpustakaan yang hanya beberapa langkah dari gedung besar itu. Dari kata-katamu itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk bisa menyelesaikan secepat mungkin latihan drama ini dan langsung cepat-cepat menyusulmu disana.

Pukul 15.00 WIB, latihan sudah selesai, dan akhirnya aku mendapatkan model tugas foto persmaku. Saking senangnya, aku mengabarimu sebelum jam 3 sore itu, jam fotoku sekaligus waktu hujan kembali mengguyur. 3 jepretan, dan aku langsung melesat ke perpustakaan, mencarimu dari pesan singkat yang kamu kirim sebelumnya, dan akhirnya menemukanmu di salah satu pojokan salah satu ruangan di perpustakaan itu.

Aku menyuruhmu untuk bergeser, dan aku pun langsung duduk, beradu bahu denganmu. Aku menanyakan progress video dan kamu menjawab sambil menunjuk hasilnya, “sedang aku convert saja kok, file-nya tidak bisa terbaca dari program video editor-ku soalnya.” Dan aku hanya ber-ooh saja. Merasa tidak banyak membantu, akhirnya aku mengambil buku di tas yang sudah aku taruh di loker luar. Buku tentang membangun kreativitas dan aku tahu kamu sangat suka dengan buku-buku seperti itu. Fokusmu pun teralihkan, ikut membaca buku yang sedang aku baca dibagian yang lagi asyik-asyiknya. Dan kita mengutarakan hasil-hasil pemikiran setiap setelah membaca beberapa bab dari buku itu, berbicara apa saja, hingga akhirnya kita pun terdiam kembali, kamu sibuk dengan laptopmu dan fokusku tiba-tiba teralihkan dari buku yang telah selesai aku baca ke kakimu yang besar, haha!

“Mak, kakimu, besar banget!” tukasku sambil mengetuk-ngetukkan tumitku ke ujung-ujung jari kakimu.

“Wah, kakimu anget, pinjem bentar sini,” dan kamu langsung membungkus satu kakiku yang mengetuk-ngetuk tadi dengan kedua kaki besarmu itu, bergidik geli karena kaki-kaki besarmu benar-benar kedinginan.

Pukul 17.20an WIB, aku merajuk-rajuk agar kamu mau ikut denganku ke persma, hanya sekedar untuk menumpuk foto yang tadi aku ambil.

“Sudah lama kan nggak kesana, ayolah!” Pintaku. Ya, aku mengetahui dirimu dari persma itu, jadi, tidak ada salahnya kan kalau kamu ke sana sekedar bertegur sapa dengan teman-teman persma walau kamu sudah jarang—malah tidak pernah sama sekali ke sana lagi.

“Nggak enak nih..” Balasmu. Aku tetap bersi-keukeuh bahwa kamu harus kesana, sampai-sampai aku rela menemanimu ke pasar malam-malam.

Voila, berhasillah aku mengajakmu ke persma, beberapa teman kaget dan kembali kita dicibir seperti yang dilakukan oleh wanita kecil yang lebih dewasa dan matang dari kita itu.

Sebagai janji yang telah aku bilang kepadamu, aku menemanimu ke pasar demi membeli telur dan teri kering yang kamu bilang sebelumnya.

Dan malamnya, saat aku tak sengaja memikirkan apa yang sudah kita lakukan selama ini, kamu mengirim pesan singkat: “Sudah sampai di rumah?”

--
Hari Jumat, hari ini, tepat 5 hari di minggu ini kita terus bersama. Aku tetap dengan alasanku bahwa aku akan menemanimu untuk mengotak-atik video yang telah kita ambil seminggu yang lalu, padahal niatan itu sudah berubah. Aku hanya ingin bersamamu, di kala ada kesempatan. Nyaman dan nyambung, itulah alasan utamanya.

Dan itu aku lakukan, pagi ini aku menjemputmu, seperti hari Kamis minggu ini. Kali ini karena ada orderan sarapan dari teman-teman sekelasku, kamu pun ikut memesannya karena mendengar cerita ini sebelumnya di hari Kamis, minggu ini.

Kali ini kamu menunggu sambil terpekur dengan satu buku, tentang sastra. Dan kita pun berangkat ke kampus bersama lagi, tentu saja, bertukar posisi, aku dibelakang, si pembonceng dan kamu di depan, si tukang ojeknya.

Kuliahku seperti biasa selesai pukul 09.00 WIB, teman-teman sekelasku mengajak makan-makan yang diadakan oleh adik angkatan, gratis, tempatnya juga di alam terbuka. Aku pun menyetujuinya, siapa tahu aku bisa mengambil secuil makanan untukmu, janjiku dalam hati.

Dan benar saja, aku mengambilnya untukmu! 2 lumpia goreng, khusus untukmu. Tentu saja seperti biasanya, kamu ada di ruangan yang sangat-tidak-terkenal-sama sekali dikalangan mahasiswa di kampus kita. Tentu saja seperti biasanya pula, kamu sendiri di ruangan itu, dan mengaku bahwa tidak enak badan hari ini dan mengaku pula bahwa kamu membolos 2 mata kuliah sekaligus hari ini.
“Beneran nggak apa-apa? Mau pulang?” tanyaku. Kamu menggeleng, tidak ingin. Ada rasa tidak enak denganmu, kalau kamu mau membolos kuliah pagi, tentu aku tidak mengajakmu untuk berangkat ke kampus bersama.

Pukul 12.00 WIB, waktunya kamu bersiap untuk solat Jumat.

“Aku tinggal ya,” Dan kamu menepuk-nepuk puncak kepalaku.

Di sela-sela membongkar laptopmu, kamu yang meninggalkan handphonemu itu membuatku tergelitik untuk membukanya (maaf!). Ada beberapa pesan singkat dari keluargamu, teman-temanmu, aku, dan ada beberapa pesan singkat yang membuatku terperanjat. Ada kisah kelam di dalam smsmu itu, rasanya ingin bertanya setelah kamu kembali dari solat Jumat, tapi.. aku meredamnya dan mengembalikan posisi handphonemu seperti semula, dan memutuskan untuk menonton film saja.

Pukul 12.40an WIB, kamu kembali, sedangkan aku sudah mulai menonton Rectoverso, hasil angkut-angkut data kita kemarin.

“Ceritanya sedih ya?” tanyaku, dan kamu menjelaskan beberapa scene yang sebenarnya tidak ingin aku dengar dan akhirnya aku memintamu untuk tidak menceritakannya sama sekali. Diselanya, aku nekat memegang dahimu, mengecek apakah kamu demam atau tidak.

“Lumayan panas tuh,” ucapku, dan kamu hanya ber-ooh saja tanpa berkomentar banyak.

Pukul 13.10 WIB, aku merajuk padamu untuk tetap di ruangan ini, menemaniku untuk menonton, alias mempengaruhimu untuk tidak usah kuliah aka bolos.

Sayangnya, tidak mempan. Kamu bersiap-siap untuk kuliah, aku hanya bisa merengut tanda tidak setuju. Seperti mengetahuinya, kamu kembali menepuk-nepuk kepalaku dan langsung pergi untuk kuliah.

Akhir dari Rectoverso yang diangkat dari buku antologi penulis kondang ini, memang sedih... aku menangis, sesenggukan. Entah karena aku sedih dengan kenyataan yang aku tahu atau karena pengaruh film itu, seakan-akan bercampur.

Pukul 15.00 WIB, kamu kembali, dan posisiku sedang mendengar musik-musik Kings of Convenience yang sudah di remix sambil memainkan game yang satu-satunya kutemukan di laptopmu. Kamu mengambil posisi duduk disebelahku.

“Sini, pinjam kamera, lihat foto-fotonya tadi” Ingat saja ini orang, batinku. Dan aku mengeluarkan tas berukuran sedang dan menyerahkannya kepadamu. Dengan melihat-lihat foto, kamu bertanya tentang apa saja objek yang aku potret dan yang tersimpan di memorinya. Duduk kita terlalu dekat, tapi aku tidak peduli. Hingga akhirnya kamu nyeletuk sesuatu yang.. kinda cute.

“Boleh senderan?” tanyamu ragu. Aku mengiyakan saja. Tidak berapa lama kemudian keadaan ruangan yang sangat-tidak-terkenal-sama sekali dikalangan mahasiswa di kampus kita ini mendadak ramai, aku yang memang sudah dari tadi ingin hengkang untuk ke persma karena panggilan rapat akhirnya berpamitan.

Pukul 16.38 WIB, tiba-tiba ada pesan singkat darimu, ingin pulang bersama. Ingin cepat ke ruangaaann ituu.. teriakku dalam hati. Rapat sebenarnya tidak ada, namun aku terlanjur memesan makanan. Makanan sampai, aku mengejar-ngejar ketua acaraku untuk cepat memberiku uang yang ia janjikan untuk konsumsi. Selesai semua, aku pun melesat ke kampus.

Waktu masih menunjukkan jam 5 lebih dan ruangan yang tadi mendadak ramai sudah kembali lagi keadaannya, keadaan kamu sendirian disana.

“Nih.” Aku menyodorkan makanan yang sudah aku beli dengan cara menitip teman di persma. Kamu seakan enggan tidak mau makan, tapi akhirnya paksaanku tetap menang.

Pembicaraan disela waktu makan kita, dari beberapa pertanyaan biasa berakhir dengan aku mengaku padamu.

“’teman’ kemarin itu, mantanku.” Mimik wajahmu terlihat ada rasa terkejut tapi segera kamu tutup-tutupi dengan ketenanganmu.

Dan pembicaraan kita terus berlanjut, tentang ceritaku dan ‘teman’ku itu. Kamu menanyakan dan memberi advice yang sama seperti dan sering aku dengar dari banyak orang.

“gantian kamu,” pintaku. Kamu gelagapan, bingung mau menceritakan apa.

“emang aku belum pernah cerita ya tentang aku?” sejak kapan kamu cerita tentang dirimu, batinku terkekeh.

Dan banyak sekali hal-hal tentang dirimu yang tidak akan aku ketahui kalau kamu tidak menceritakannya hari ini.

Namun, sampai saat ini.. aku masih penasaran, siapa wanita yang ada di dalam daftar pesan singkat di handphonemu itu?

Dan malam ini sama seperti malam sebelumnya setelah aku mengantarmu pulang dan kamu mengirim pesan singkat: "Sudah sampai rumah?"


(いろんな絵の具、ありがたいね)

Selamat Bulan Juni teman-teman :D.


You may also like

4 comments:

  1. menunggu kelanjutannya.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahahah, terimakasih sudah membacanya ya, wah tunggu aja kelanjutannya, kalau ada perkembangan dan ide ceritanya ya:p

      Delete
  2. ._.
    it is heart-breaking to read this. dude, i hope you won't feel any regret.


    ps : who is that 'perempuan kecil'? seems familiar ._.

    ReplyDelete